Main Dengan Adik Ipar Ku Yang Sangat Cantik

Main Dengan Adik Ipar Ku Yang Sangat Cantik

Cerita Main Dengan Adik Ipar Ku Yang Sangat Cantik . Dengan langkah gontai, aku beranjak dari kasur dan menyeret kaki ke dapur. Samar-samar kudengar suara dari sana, pertanda Yuni sudah beraksi. Senyum tipis mengembang di bibirku.

Di dapur, Yuni tampak sibuk dengan pisau di tangannya, memotong sesuatu yang tidak jelas. Rambutnya diikat asal, memperlihatkan leher jenjangnya yang mulus. Daster tipis yang dipakainya sukses menonjolkan lekuk tubuhnya yang aduhai.

Pinggangnya ramping, buah dadanya bergerak-gerak kecil setiap kali tangannya mengayun memotong bahan makanan. Dadaku berdesir, merasakan sesuatu yang aneh. Hasrat jahilku muncul, aku ingin mengganggu Yuni.

Diam-diam, aku mengendap-endap mendekatinya. Jantungku berdebar pelan, “Deg… deg… deg…” Nafas kutahan, siap untuk membuatnya kaget.

“Dor!” Seruku tepat di belakang telinganya. “Aaaarrrggghhh!” Yuni menjerit kaget, badannya menegang. Pisau yang tadi dipegangnya terlepas, jatuh menghantam lantai. “Srettt!” Suara pisau jatuh terdengar jelas.

“Aduh!” Yuni meringis pelan. Mataku membelalak. Darah merah segar menetes dari jari telunjuknya, membasahi talenan putih.

Gila! Aku langsung panik. Ini semua salahku. “Ya ampun, Dek! Maaf, maaf! Aduh, Mas nggak sengaja! Sakit nggak?”

Aku langsung menyambar kotak P3K dari laci paling atas, tanganku gemetar. “Nggak apa-apa kok, Mas,” kata Yuni, suaranya sedikit bergetar, menatapku khawatir.

Aku mengambil kapas dan antiseptik. “Sini, Mas bersihin dulu. Kamu duduk aja.” Aku menuntunnya duduk di kursi dapur.

Dengan hati-hati, aku bersihkan lukanya pelan-pelan. Darah masih sedikit merembes, membuatku makin merasa bersalah. Setelah bersih, aku melilitkan perban putih kecil di jarinya.

Tanganku masih membelai jari Yuni yang terasa dingin. Matanya menatapku lekat, ada campuran cemas dan sesuatu yang sulit kuartikan di sana. “Mas, udah dong.” Yuni menarik tangannya.

“Eh, sebentar.” Aku menahan tangannya, erat. Aku menggenggam tangannya, dan kali ini, Yuni tidak menariknya lagi. Bahkan, dia membalas genggamanku.

Mata kami bertemu, saling pandang. Ada keheningan yang mengisi ruang, tapi terasa begitu penuh.

“Duduk di sofa aja yuk, Dek. Biar enak,” ajakku. Yuni mengangguk pelan. Kami duduk berdua di sofa ruang tamu.

Kuberikan segelas air dingin yang kubuatkan. Yuni masih terlihat malu, pipinya merona tipis. Aku memijat pundaknya yang terasa tegang.

Topik menarik lainnya : Ngentot sama kakak ipar yang sedang kesepian

Jemariku menekan perlahan otot-otot di bahunya. Yuni menyamankan diri, bersandar padaku. “Enak, Mas,” bisiknya.

Keheningan kembali menyelimuti kami, hanya suara detak jam dinding yang terdengar. “Mas, belum punya pacar ya?”

Pertanyaan Yuni membuatku tersenyum jahil. Ide usil muncul di kepalaku. “Memangnya kenapa? Kamu mau jadi pacarku?” Aku menggodanya.

Seketika wajah Yuni memerah padam, mirip tomat busuk yang siap panen. “Gila lu, Mas!” Yuni memukul lenganku pelan, tapi tidak ada kekuatan di baliknya.

“Aku adek ipar kamu kali!” Aku tertawa renyah. “Ya kan cuma nanya, Dek. Siapa tahu kamu tertarik.”

Aku pura-pura memasang muka sedih. “Lagian, Mas ini kesepian loh, Dek. Udah lupa rasanya punya istri,” kataku, mencoba membuat drama. Aku mengelus puncak kepalanya.

Rambutnya terasa lembut di telapak tanganku. Kuusap, kurasakan tekstur helainya, lalu kuremas gemas.

“Udah ah, Mas. Aku mau masak lagi. Nanti laper beneran,” kata Yuni, mencoba bangkit dari sofa, tapi aku menahannya.

“Eh, bentar dong, Dek. Enak nih.” Aku memandanginya, lekuk tubuhnya yang tertutup daster tipis itu benar-benar menggoda.

Entah kenapa, hari ini Yuni terlihat berbeda. Lebih… menarik. “Mau kubantu, Dek? Aku juga laper banget ini.”

“Nggak usah, Mas. Kamu duduk aja di sini. Nanti malah bikin ulah lagi,” canda Yuni, tapi matanya berbinar. Dia akhirnya berdiri, aku ikut berdiri di belakangnya.

Saat dia hendak mengambil piring, tangan kami bertemu. Jemarinya menyentuh jemariku. Yuni ragu, tidak langsung melepas tangannya.

Mata kami bertabrakan, ada percikan yang sama seperti sebelumnya, percikan listrik yang mengalir ke seluruh tubuhku. Wajahku mendekat, semakin dekat dengan wajahnya.

Jantungku berdebar tak karuan, “Deg… deg… deg…” Aroma tubuhnya, campuran sabun dan aroma khas Yuni, memabukkan. Yuni tidak menghindar.

Matanya tertutup perlahan. Perlahan, kutarik tengkuknya, dan bibirku menyentuh bibirnya. “Maaf…” bisikku di sela ciuman kami. Bibir Yuni terasa lembut, sedikit manis.

Aku mulai melumat bibirnya, menghisapnya perlahan. Yuni mulai terbuai, tubuhnya sedikit gemetar, tangannya perlahan melingkar di leherku, membalas lumatan bibirku.

Ciuman kami semakin panas, berbalas, dan semakin ganas. Aku meremas rambut belakang kepalanya, tanganku yang satu lagi turun ke pantatnya yang kenyal, kuremas gemas.

“Aahh…” Yuni mendesah, suaranya tertahan, meresap ke dalam mulutku. Aku semakin melumat, mengisap lidahnya dalam-dalam. Lidah kami beradu, saling membelit, mencari setiap sudut kenikmatan.

Lanjut Membaca Cerita

CHAPTER DUA

Tubuh Yuni mulai terangsang, menggelinjang di pelukanku. “Mas… berhenti…” Yuni berbisik, terengah-engah, tapi tangannya semakin erat melingkar di leherku.

“Aku takut, Mas… Takut Mbak Ratri marah… ini salah…” Aku meraih dagunya, mengangkatnya agar mata kami bertemu. Bibir kami kembali bersentuhan, dan kali ini, Yuni membalas ciumanku dengan lebih berani, lebih intens.

Dia menarikku mendekat, seolah ingin tenggelam dalam diriku. Tanganku turun, meremas nakal pantatnya, menekan jemariku ke dalam daging lembut itu.

Lalu, tanganku mencari sesuatu yang lebih menggairahkan, menyelusup ke dalam daster tipisnya, menemukan buah dadanya yang montok. Kuremas perlahan, merasakan kenyalnya.

Penisku yang sudah menegang sejak tadi, menggesek-gesek lembut vaginanya yang mulai terasa basah dari balik daster. “Nnnghh… Aaahh…” Yuni mengerang nikmat, suaranya seperti desahan kucing birahi.

Tanpa menunggu aba-aba, aku merosotkan daster dan celana dalamnya sekaligus. Yuni kini tanpa celana. Tubuhnya mulus, tanpa cela, hanya terbalut bra dan daster yang kusimpan di pinggangnya.

Dia memegang penisku yang keras, menggenggamnya erat. “Besar…” bisiknya. Aku tersenyum bangga, nafsuku membuncah. “Mau lebih besar?”

“Mmmhh…” Yuni langsung melucuti celanaku, menariknya hingga ke mata kaki. Kami berdua kini tanpa celana. Dia mulai mengocok penisku dengan tangannya, naik turun.

“Aaahh… Ssshh…” Aku mengerang nikmat, kepalaku mendongak, merasakan sensasi luar biasa. Jariku menemukan klitoris Yuni, memainkannya pelan, mengusapnya bolak-balik.

Lubang vaginanya sudah basah kuyup, siap untuk dimasuki. Perlahan, jariku masuk ke dalam vaginanya, memasukinya satu jari, lalu dua, bermain-main di dalamnya.

“Oouuhh… Aduhh… Mmhhhh…” Yuni meracau nikmat, tubuhnya menggeliat, pinggulnya bergerak tak sabar. Aku menarik jariku, lalu mengarahkan penisku, menempelkannya di bibir vaginanya.

Yuni langsung memeluk pinggulku, mengeratkan pelukannya, seolah tidak ingin ada jarak di antara kami. Aku mengangkat tubuhnya, mendudukkannya di pangkuanku, posisinya menghadapku.

“Masuk, Mas… Cepat…” Yuni merengek, matanya terpejam. Aku menyeringai. “Siap, cantik.”

Perlahan, aku dorong penisku masuk. “Ssshhh…” Suara desahan kami berdua memenuhi dapur. Penisku masuk, sedikit demi sedikit, merasakan lubang vaginanya yang hangat dan ketat.

“Aaahh… Ohh… Sakit… tapi enak, Mas…” Yuni mendesah, melengkungkan punggungnya. Aku tahu ini pertama kalinya bagi Yuni, dia masih perawan. Aku harus hati-hati.

“Pelan-pelan ya, Sayang.” Aku mengecup keningnya, lalu mulai menggerakkan pinggulku, pelan dan lembut. “Uuuhhh… Enak… Mas…” Yuni mengerang, tangannya mencengkeram erat pundakku.

Aku terus menggerakkan pinggulku, memberikan hentakan-hentakan pelan. Yuni mendesah, napasnya terengah-engah. Wajahnya memerah, keringat mulai membasahi dahinya.

“Kamu nikmat, Dek…” bisikku, melumat bibirnya lagi. Ciuman kami semakin dalam, semakin panas. Tanganku meremas buah dadanya, bergantian dengan pantatnya.

“Aaahh… Aaahh… Lebih cepat, Mas…” Yuni mulai mendesak. Aku mengerti, dia ingin lebih. Aku mempercepat tempo, menggenjotnya dengan ritme yang stabil.

“Nnnghh… Nnnngghhh…” Yuni mendesah, suaranya semakin keras. Dia melingkarkan kakinya di pinggangku, menarik tubuhku semakin rapat dengannya. Sensasinya luar biasa.

Aku merasakan dinding vaginanya mencengkeram penisku, ketat dan hangat. “Aku… ah… mau keluar, Mas…” Yuni meracau, tubuhnya menegang.

“Barengan, Sayang…” Aku mempercepat genjotanku, habis-habisan. “Aaahh! Aaahh! Mas!” Yuni menjerit, tubuhnya bergetar hebat. Vaginanya berdenyut, mencengkeram penisku. Aku merasakan ledakan kenikmatan yang luar biasa.

“Oouuhhh!” Aku mengerang, melepas semua bebanku di dalam Yuni. Kami berdua terengah-engah, saling berpelukan erat. Keringat membanjiri tubuh kami.

Yuni menyandarkan kepalanya di bahuku, napasnya masih terburu-buru. “Mas… kita… apa yang kita lakukan?” bisik Yuni, suaranya serak. Aku mengecup rambutnya. “Kita cuma… bersenang-senang, Dek. Rahasia kita berdua.”

Yuni tidak menjawab. Dia hanya mengeratkan pelukannya. Aku tahu, ini baru permulaan. Perasaan bersalah sedikit muncul, tapi segera kutepis. Ini Yuni. Adik iparku. Dan dia menikmati ini. Aku tahu itu.

Aku bangkit perlahan, menggendong Yuni menuju kamar mandi. “Kita bersih-bersih dulu, Dek.” Di kamar mandi, kami membersihkan diri berdua.

Yuni masih malu-malu, tapi dia tidak menolak saat aku membantunya membersihkan diri. Aku membersihkan darah di pahanya, bekas keperawanan yang baru saja kurenggut.

Ada rasa bangga, dan sedikit rasa bersalah, bercampur aduk. Setelah itu, kami kembali ke dapur. Suasana sudah sedikit mencair, meskipun masih ada canggung di antara kami.

Yuni mulai masak lagi, kali ini aku tidak mengganggunya. Aku hanya duduk di meja makan, memperhatikannya dari jauh. Tubuhnya yang tadi kupeluk, kulumati, dan kugarap, kini sibuk mengurus sarapan kami.

“Mas, mau sarapan apa?” tanya Yuni, suaranya sudah kembali normal. “Apa aja, Dek. Yang kamu masak pasti enak,” jawabku, tersenyum. Yuni membalas senyumku, pipinya sedikit merona.

Ada rahasia di antara kami, rahasia yang manis dan memabukkan. Dan aku tahu, ini tidak akan menjadi yang terakhir.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *