Terpaksa Melayaniku Demi Bayar Hutang

Terpaksa Melayaniku Demi Bayar Hutang

 

Gadis Perawan Lugu Terpaksa Melayaniku Demi Bayar Hutang . Namaku Bima, pengusaha properti yang bisa dibilang sudah mencapai segalanya. duitku melimpah, mobil mewah berderet, apartemen elit bukan cuma satu. Namun, ada satu keinginan tersembunyi yang selalu menghantuiku di malam hari yaitu aku mendambakan perawan. Bukan sekadar nafsu sesaat, tapi sensasi murni yang belum ternoda, yang belum pernah terjamah siapa pun.

 

Berbagai cara sudah kucoba. Mulai dari agensi, kenalan, hingga jejaring daring. Hasilnya nihil. Semuanya berakhir penipuan, janji kosong, atau “barang bekas” yang mengaku perawan. Kepalaku serasa mau pecah memikirkan itu. Hingga suatu sore, Hendra, kawan lama yang lihai mencari “informasi”, tiba-tiba muncul di kantorku. Dia punya jaringan luas dan tahu seluk-beluk dunia bawah tanah yang “aman” untuk melampiaskan hasrat terlarang.

“Yo, Bim! Muka lo kusut amat, kenapa nih?” sapa Hendra riang, senyum kuda khasnya mengembang.

“Suntuk banget, Hen. Lo tahu sendirilah masalah gue,” keluhku, langsung pada inti.

“Hahaha, gue ngerti kok. Tenang aja, Bos. Kali ini gue bawa kabar gembira buat lo. Ada stok baru, dijamin gress. Lokasinya di desa, jauh dari hiruk pikuk kota. Dijamin aman, bersih, dan masih segel,” bisik Hendra, matanya berbinar penuh rahasia.

“Serius lo, Hen? Jangan main-main! Udah berapa kali gue kecewa gara-gara omongan lo,” tatapku curiga, tak mau tertipu lagi.

“Sumpah, Bim! Kali ini beda. Dia nggak mau ke kota, maunya di rumahnya sendiri. Katanya malu kalau ketemu orang lain. Jadi, lo harus samperin ke sana,” jawab Hendra mantap, membuatku yakin.

Darahku langsung berdesir hebat. Ini adalah kesempatan langka yang tak boleh kulewatkan. “Oke, kapan kita bisa ke sana?” tanyaku tak sabar.

“Besok pagi, Bim. Gue udah atur semuanya. Lo siapin aja mental sama duitnya,” Hendra terkekeh kecil, seraya menepuk bahuku.

Malam itu, tidurku tak nyenyak. Bayangan gadis perawan terus menghantui, mengusik setiap detikku. Pagi-pagi buta, aku sudah siap. Tanpa banyak basa-basi, setelah sarapan kilat, aku langsung meluncur ke titik pertemuan dengan Hendra. Dia sudah menungguku di pinggir jalan, menyandar pada mobil bututnya yang setia.

“Wih, semangat amat, Bos! Kayak mau kawin aja!” ledek Hendra begitu aku masuk mobil.

“Lo pikir aja sendiri. Jadi, gimana detailnya nih?” desakku, tak sabar ingin tahu lebih banyak.

“Sabar, Bos. Nanti juga lo lihat sendiri. Pokoknya lo nggak bakal nyesel deh,” Hendra malah tertawa renyah, menambah rasa penasaranku.

Perjalanan menuju desa memakan waktu berjam-jam. Jalanan yang berliku dan sesekali berbatu membuat pantatku pegal tak terkira. Setelah melewati hamparan persawahan hijau dan perkebunan rimbun, akhirnya kami tiba di sebuah desa terpencil. Udara di sini jauh lebih segar, namun kesunyian desa yang mencekam membuatku sedikit merinding.

“Ini dia, Bos. Gubuknya di sana,” Hendra menunjuk ke arah sebuah gubuk reyot di ujung jalan setapak, tersembunyi di antara pepohonan.

Gubuk itu terbuat dari bilik bambu, beratapkan rumbia, dan terlihat sangat sederhana. Di sekelilingnya, beberapa pohon singkong dan tanaman liar tumbuh subur. Aku menelan ludah. Ini benar-benar gubuk reot.

Kami melangkah mendekati gubuk. Di depan pintu, seorang wanita tua berambut memutih dan seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan kami. Senyum mereka ramah, namun ada jejak kepahitan yang tersirat. Hendra langsung menyapa mereka dengan akrab, seolah sudah kenal lama.

“Assalamualaikum, Mak, Bu…” sapa Hendra, suaranya terdengar hangat.

“Waalaikumsalam, Nak Hendra. Mari masuk,” jawab wanita tua itu, mempersilakan kami.

Kami pun masuk ke dalam gubuk yang hanya terdiri dari satu ruangan. Di sana, seorang nenek dan seorang gadis dewasa duduk di atas tikar pandan. Ruangan itu terlihat sangat bersih, meskipun perabotannya minim. Hanya ada beberapa bantal dan selimut usang yang terhampar di lantai, menjadi alas tidur mereka.

“Ini Bima, Mak. Yang saya ceritain itu,” Hendra memperkenalkan diriku padanya.

Mataku langsung tertuju pada gadis itu. Dia duduk dengan tenang, menatapku tanpa ekspresi. Usianya sekitar 21 tahun, rambutnya dikepang dua, kulitnya sawo matang, dan tubuhnya kurus, namun terlihat proporsional. Pakaiannya sederhana, hanya kaos oblong dan celana pendek selutut.

Wanita tua itu memperkenalkan dirinya. “Saya Buyutnya, dan ini Neneknya. Yang ini Ibunya, dan yang muda ini namanya Sari.”

Sari? Nama yang manis, namun kenyataan di balik itu begitu pahit. Aku terdiam sejenak, mencerna semua informasi ini. Mereka semua satu keluarga: buyut, nenek, ibu, dan Sari. Tiga generasi berkumpul dalam satu atap, berbagi kemiskinan.

“Maaf, Pak. Kami memang miskin sekali. Suami saya sudah meninggal, tidak punya apa-apa lagi. Kami terpaksa melakukan ini untuk membayar utang rentenir yang mencekik,” sang Ibu berbicara dengan suara pelan, matanya berkaca-kaca menahan air mata.

Aku kembali menatap Sari. Dia hanya diam, tidak menunjukkan rasa malu sedikit pun. Ekspresinya datar, seolah sudah terbiasa dengan penderitaan. Hatiku tercekat. Di satu sisi, aku merasa iba, namun di sisi lain, hasratku semakin membuncah tak tertahankan.

“Sari ini cuma mau di rumahnya, Pak. Dia nggak mau ke mana-mana. Jadi, Bapak harus nginep di sini,” kata sang Ibu lagi, menjelaskan syarat Sari.

Aku melirik ke sekeliling ruangan. Hanya satu ruangan. Itu berarti, aku harus tidur bersama mereka semua? Gila. Tapi kesempatan emas ini tak boleh kulewatkan.

“Berapa?” tanyaku langsung, tanpa basa-basi lagi.

Sang Ibu menunduk. “Empat juta, Pak. Tiga juta buat kami, satu juta buat Nak Hendra.”

Aku mengangguk. Harga segitu tak seberapa dibandingkan dengan kepuasan yang akan kudapat. “Oke, saya setuju,” ucapku mantap.

Hendra langsung tersenyum lebar. “Wah, makasih banyak, Pak Bima! Rezeki nomplok nih!” serunya gembira.

Setelah urusan transaksi beres, Hendra pamit pulang. Aku hanya bisa pasrah. Kini aku sendirian, dikelilingi empat perempuan dari tiga generasi yang berbeda.

“Bapak mau mandi dulu?” tanya sang Ibu ramah, memecah keheningan.

“Boleh,” jawabku singkat.

“Kamar mandinya di kebun singkong, Pak. Nggak ada dindingnya,” kata sang Ibu sambil menunjuk ke arah kebun, membuatku terkejut.

Aku melongo. Kamar mandi tanpa dinding? Berarti mandi di alam terbuka? Pikiran nakalku langsung muncul. “Kita mandi bareng aja, ya?” usulku, tanpa pikir panjang.

Mereka berempat saling pandang, lalu mengangguk. “Baik, Pak,” kata sang Ibu.

Kami berjalan menuju kebun singkong. Di sana, ada sebuah sumur kecil dengan timba. Airnya terlihat jernih dan segar. Satu per satu, mereka melepas pakaian. Nenek dan Buyut melepas kain sarungnya, memperlihatkan payudara yang sudah kendur dan perut bergelambir. Sang Ibu melepas baju dan celananya, memperlihatkan tubuh yang masih kencang meski sudah melahirkan. Dan Sari… dia melepas kaos dan celana pendeknya, memperlihatkan tubuh polosnya yang sudah matang dan mulus. Payudaranya sudah berisi, membulat sempurna, dan kemaluannya masih tertutup rapat oleh rambut halus. Pemandangan gadis perawan yang telanjang bulat di depanku benar-benar memicu adrenalin.

Aku menelan ludah. Pemandangan ini sungguh di luar dugaanku. Aku pun ikut melepas pakaian. Dinginnya air sumur membuat tubuhku menggigil, namun pemandangan di depan mata membuatku panas dingin.

“Sari, sabunin Bapak,” perintah sang Ibu, suaranya tenang.

Sari mendekat. Dengan gerakan kaku, dia mengambil sabun dan mulai menyabuni punggungku. Jari-jarinya terasa lembut di kulitku. Lalu, tangannya turun ke bagian depan, menyabuni dadaku, dan tanpa ragu menyentuh penisku. Cup!

Penisku langsung tegang. Sari terus menyabuni penisku, menggerak-gerakannya naik-turun dengan polos, seolah itu hal yang biasa ia lakukan. Mataku melirik ke arah Buyut, Nenek, dan Ibu. Mereka hanya tersenyum tipis, seolah pemandangan ini juga biasa bagi mereka. Momen ini adalah awal dari pengalaman cerita dewasa perawan yang sesungguhnya.

Setelah selesai mandi, kami kembali ke gubuk. Mereka menyuguhkan kopi hitam kental dan rokok kretek. Aku menghisap rokok dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Belum sempat aku menghabiskan rokok, tiba-tiba dua hansip masuk ke gubuk.

“Malam, Pak. Ada tamu baru, ya?” sapa salah satu hansip dengan senyum mencurigakan, tatapannya menyapu seluruh ruangan.

Aku menatap sang Ibu. Dia langsung mengerti. “Itu, Pak… biasalah. Uang jaga keamanan,” bisiknya pelan.

Aku menghela napas. Mau tidak mau, aku harus mengeluarkan uang lagi. Setelah hansip pergi, suasana kembali hening. Malam semakin larut, dan rasa ngantuk mulai menyerang.

“Pak, tidurnya di sini, ya,” kata sang Ibu sambil menunjuk ke hamparan kasur di lantai, yang hanya terdiri dari tiga buah.

Aku melihat tiga kasur berjejeran. Itu berarti aku harus tidur berhimpitan dengan mereka berempat. Aku cuma bisa pasrah menerima takdir malam itu.

Lanjut BAB 2: Gadis Perawan Terpaksa Melayaniku Untuk Bayar Hutang

CHAPTER 2

Malam itu, aku tidur berhimpitan dengan mereka berempat. Sari tidur di antara Buyut dan Neneknya, sedangkan aku tidur di sebelah sang Ibu. Bau tubuh mereka bercampur aduk, menciptakan aroma khas pedesaan yang menenangkan sekaligus menggelitik. Aku memejamkan mata, mencoba tidur, tapi penisku masih tegang, membayangkan Sari. Sensasi memiliki seorang gadis perawan lugu yang ada di dekatku membuat tidurku gelisah.

Tiba-tiba, sang Ibu menggoyangkan bahuku pelan. “Pak… ayo mulai. Sari sudah siap,” bisiknya, suaranya serak.

Aku membuka mata. Sari sudah duduk tegak, menghadapku. Matanya masih polos, namun entah mengapa aku merasa ada sorot pasrah di sana.

“Sari, buka bajunya,” perintah sang Ibu dengan nada tegas.

Sari menurut. Dia melepas kaosnya, lalu celana pendeknya. Kini dia benar-benar telanjang. Tubuh mulusnya terlihat memancing hasrat, membuatku iba sekaligus terangsang. Ini adalah momen krusial dalam cerita dewasa perawan ini.

“Sari, pegang punyanya Bapak,” kata sang Ibu lagi, mengarahkan tangan Sari.

Sari mengulurkan tangan kecilnya, memegang penisku yang sudah berdiri tegak. Dia menggenggamnya, lalu mengocoknya pelan. Gerakannya masih kaku dan canggung.

“Gini lho, Nak,” sang Ibu mencontohkan, tangannya ikut memegang penisku dan mengocoknya dengan ritme yang lebih teratur, jauh lebih mahir.

Aku menelan ludah. Suasana makin panas. Tiba-tiba, Nenek dan Buyut ikut terbangun. Mereka duduk, menonton apa yang terjadi di depan mata mereka, tanpa berkedip.

“Sari, buka kakinya lebar-lebar,” perintah sang Ibu lagi, nadanya tak sabar.

Sari membuka kakinya. Kemaluan kecilnya terlihat jelas. Masih kecil dan tertutup rapat. Aku berusaha memasukkan penisku, tapi sulit. Sari belum terangsang, jadi kemaluannya masih kering dan rapat.

“Bentar, Pak,” kata sang Ibu. Dia meraih sebotol body lotion di samping kasur. Dengan cepat, dia melumasi penisku dan kemaluan Sari. Aroma lotion yang lembut menyebar. Lalu, dia membimbing penisku, mengarahkannya tepat ke lubang Sari.

Srett!

Aku menekan perlahan. Sari menjerit kesakitan, suaranya melengking dan mengiris telinga. Byar! Darah segar mengalir membasahi paha dalam Sari, menodai kulit mulusnya. Selaput perawannya jebol. Sari menangis terisak-isak, memeluk lututnya, tubuhnya gemetar hebat, bahunya naik turun menahan isak tangis. Momen perpisahan Sari dengan status perawan-nya.

Aku merasakan sensasi yang aneh. Bukan nikmat yang kudambakan, tapi lebih ke sensasi mendebarkan karena berhasil menembus segel perawan. Aku terus menggenjot, meski Sari terus menangis, isakannya memenuhi ruangan. Nggrrr… Nggrrr… Suara desahanku bercampur tangisannya. Setiap dorongan terasa ada perlawanan lembut dari dalam, namun pada akhirnya Sari menerima sepenuhnya. Desah! Desah! Akhirnya, aku ejakulasi di dalam kemaluan Sari, menumpahkan segala hasratku hingga terasa kosong.

Setelah selesai, aku menarik penisku keluar. Sari masih menangis, tubuhnya gemetar tak berhenti. Aku kehilangan selera. Entah kenapa, rasa bersalah mulai menghantuiku. Sari kemudian tidur di antara Buyut dan Neneknya, masih terisak pelan, berusaha menenangkan diri. Aku merebahkan diri di sebelah sang Ibu, mencoba memejamkan mata, berharap bisa melupakan kejadian barusan.

Ronde Kedua dengan Sari: Di Bawah Bintang

Beberapa jam kemudian, kegelisahan kembali melandaku. Sari sudah tertidur lelap, namun aku tak bisa. Hasratku belum benar-benar tuntas. Aku bangkit pelan, menghindari membangunkan yang lain. Aku melihat Sari tidur menghadap dinding, tubuh mungilnya terbalut selimut tipis. Sebuah ide liar muncul di benakku untuk lanjutan cerita dewasa perawan ini.

Aku berbisik pada sang Ibu yang rupanya belum tidur. “Bu, saya mau lagi dengan Sari. Tapi, di luar saja.”

Sang Ibu hanya mengangguk pelan, seolah mengerti. Perlahan, aku menggendong Sari yang masih terlelap. Dia tidak terbangun, mungkin karena kelelahan atau efek syok tadi. Aku membawanya keluar gubuk, menuju kebun singkong. Udara malam dingin, namun langit bertabur bintang. Di sana, di antara rimbunnya daun singkong, aku merebahkannya di atas sehelai tikar yang kubawa.

Aku membaringkan Sari di sampingku. Bulan bersinar redup, menerangi siluet tubuhnya yang polos. Kali ini, aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda, lebih lembut. Aku mulai menciumi lehernya, turun ke bahu, lalu ke payudaranya yang sudah berisi, membulat sempurna. Aku menjilatinya pelan, mencoba membangkitkan gairahnya. Sari menggeliat, kelopak matanya bergetar.

“Enghh…” desahnya pelan, suaranya samar.

Aku merayap turun, menciumi perutnya, lalu melesakkan lidahku ke kemaluannya. Aku menjilati perlahan, mencoba membuat dia nyaman. Sari tersentak. Ahhh… desahnya lebih jelas. Aku terus menjilat dan menghisap, hingga Sari mulai merespons. Tangannya terangkat, meremas rambutku. Geli… bisiknya.

Ketika Sari sudah basah dan siap, aku memposisikan diriku di atasnya. Kali ini, aku ingin mencoba posisi missionary agar bisa melihat ekspresinya. Aku membimbing penisku ke lubangnya. Sari sedikit meringis, tapi tidak menjerit seperti tadi. Aku masuk perlahan, mendengarkan desah napasnya yang mulai tak beraturan. Slorpp…

Aku mulai menggenjot pelan, melihat wajahnya yang sedikit meringis namun perlahan mulai menikmati. Matanya terpejam, bibirnya sedikit terbuka. Aku mencium bibirnya, mengusap pipinya. “Pelan-pelan ya, sayang,” bisikku. Sari hanya mengangguk, matanya masih terpejam erat.

Tempo semakin cepat. Dug! Dug! Dug! Suara tubuh kami beradu dengan irama alam malam. Sari mulai mendesah, Ah… Ah… Kakinya melilit pinggangku, mengeratkannya. Gairahku kembali memuncak. Aku menumpahkan semua di dalam dirinya lagi, merasakan kehangatan yang membanjiri rahimnya. Hooah! Nafasku terengah-engah.

Sari terengah-engah. Kali ini, dia tidak menangis. Hanya napasnya yang memburu, dan tubuhnya sedikit bergetar. Kami berbaring berdampingan di bawah langit berbintang, tubuh kami saling menempel, membiarkan dinginnya angin malam membalut sisa-sisa gairah.

Fajar dan Sentuhan Terakhir dengan Sari

Fajar mulai menyingsing. Udara pagi terasa sejuk, namun aku merasa panas di dalam. Sari masih tertidur lelap di sampingku di tikar, di kebun singkong itu. Aku memandangi wajah polosnya. Entah kenapa, perasaan campur aduk muncul. Ini adalah akhir dari interaksiku dengan gadis perawan ini.

Aku memutuskan untuk melakukan yang terakhir kali sebelum kembali ke dalam. Aku membalikkan Sari hingga ia tengkurap. Aku berlutut di belakangnya, mengangkat pinggulnya sedikit. Posisi doggy style. Aku memasukkan penisku dari belakang, merasakan pantatnya yang berisi menekan pahaku. Slorpp!

Sari terbangun karena gerakan itu. Dia sedikit terkejut, namun tidak melawan. Hanya napasnya yang tertahan, matanya setengah terbuka. Aku menggenjot perlahan, menikmati sensasi baru ini. Plok! Plok! Suara pantatnya beradu dengan pinggulku terdengar jelas. Aku memegang pinggulnya, mengontrol gerakan. Sari mulai mendesah lagi, Emmh… Ahh… Kali ini desahannya lebih dari rasa sakit, ada nada kenikmatan di sana, bahkan sedikit mendesah balik.

Aku terus menggenjot, mempercepat ritme. Keringat membasahi punggungku. Aku meraih payudaranya yang sudah berisi, meremasnya lembut. Sari melengkungkan punggungnya, menerima setiap dorongan. Ah! Ah! Lebih cepat, Pak! bisiknya samar, suaranya tercekat karena gairah.

Puncak gairahku kembali datang. Aku menggenjot kuat-kuat, merasakan setiap inci penisku masuk dan keluar dari dirinya. Grrr! Aku ejakulasi dengan desahan panjang, memenuhi Sari untuk yang terakhir kalinya. Aku ambruk di atasnya, kelelahan, membiarkan tubuh kami menyatu sesaat di bawah sinar matahari pagi.

Aku terbangun di tengah malam, terkejut karena sang Ibu sudah menindihku. Dia tidak mengenakan celana dalam, dan napasnya hangat menerpa leherku. Aku meremas pantatnya yang masih berisi, lalu memainkan klitorisnya yang sudah basah dan membengkak. Sang Ibu mendesah pelan, tangannya meraih penisku yang sudah kembali tegang. Dia memosisikan dirinya miring, dan kami pun bersetubuh.

Gerakannya cepat dan liar, penuh gairah. Sang Ibu naik ke atasku, menggerakkan pinggulnya dengan agresif, mendesah keras. Ahhh… Ahhh! Setiap dorongan membuat kasur berderit pelan. Keringat mulai membasahi tubuhnya. Dia menjerit saat mencapai orgasme, jeritannya membangunkan Nenek dan Buyut yang lagi-lagi cuma menonton, seolah sudah terbiasa dengan pemandangan ini.

Aku tertidur lagi, tapi tak lama kemudian aku terbangun karena penisku dikocok. Nenek! Dia sedang mengocok penisku, matanya berbinar-binar penuh hasrat. Jemarinya yang keriput tapi cekatan mengelus batangnya, naik turun. Slepp! Slepp! Aroma tubuh tuanya bercampur gairah. “Ayo, Nak… Nenek juga mau,” bisiknya, suaranya serak, napasnya memburu.

Nenek naik ke atasku. Tubuhnya sudah kendur dan keriput di sana-sini, tapi gairahnya masih membara. Dia menggenjotku dengan perlahan, menikmati setiap sentuhan. Enak, Nak… Enak sekali… desahnya, suaranya hampir tak terdengar. Aku bisa merasakan setiap kerutan kulitnya bergesekan dengan kulitku. Setelah beberapa saat, dia mendesah panjang dan ambruk di atasku, kehabisan napas.

Keesokan paginya, aku terbangun dengan badan remuk redam. Di sampingku, Buyut sudah menatapku dengan senyum genit, bibirnya tipis tertarik ke atas. Aku menelan ludah. Kayaknya hari ini nggak bakal kalah liar dari semalam.

Saat mandi di kebun singkong, Buyut tiba-tiba mendekat. Matanya tajam menatap penisku. “Nak, sebentar saja, ya?” bisiknya, tanpa menunggu jawaban.

Tanpa banyak kata, Buyut langsung bersetubuh singkat denganku di tengah kebun singkong. Dia menungging, membelakangiku, dan langsung menyambut penisku. Desah! Aku bisa merasakan dinginnya angin membelai punggungku sementara tubuhnya bergerak cepat. Lalu dia menarik diri, tersenyum puas, seolah itu hanya camilan pagi.

Setelah mandi, kami kembali ke gubuk. Buyut kembali menarik tanganku. Kali ini, dia mengoral penisku di dalam rumah. Mulutnya yang sudah keriput terasa aneh, tapi sensasinya… Srupp! Srupp! Lidahnya bermain lincah di kepalaku, membuatku melayang, sensasi basah dan hangat menyelimuti.

Lalu, Buyut naik ke atasku. Dengan gerakan lincah, dia menggoyangkan pinggulnya. “Ini goyang Karawang, Nak!” katanya sambil tertawa renyah, seolah sedang menari di atas panggung.

Dia menggenjotku dengan “goyang Karawang” yang entah bagaimana bisa begitu kuat dan energik. Ngejut! Ngejut! Pinggulnya berputar, naik-turun, seolah tak kenal lelah, membuat seluruh tubuhku berguncang. Suara desahannya semakin keras seiring dengan tempo. Akhirnya, aku ejakulasi di dalam dirinya, menumpahkan semua sisa hasratku, dan Buyut pun mengerang panjang tanda puas.

 

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *